Pemerintah Belum Serius Melaksanakan Perda RTRWP


Pemerintah Belum Serius Melaksanakan Perda RTRWP


            Peraturan daerah Provinsi Bali nomor 12 tahun 2009 tentang rencana tata ruang wilayah provinsi Bali sesungguhnya merupakan salah satu pedoman dasar dalam merumuskan grand design pembangunan Bali masa mendatang. Perda ini mengatur arahan zonasi kawasan perkotaan, pedesaan, transportasi, energi, telekomunikasi, sumber daya air, lingkungan serta kawasan lindung dan budidaya. Adapun yang diatur khusus dalam kawasan perlindungan mencakup kawasan suci hutan lindung, gunung, sepadan pantai, danau, jurang dan pulau-pulau kecil. Arahan zonasi ini diharapkan menjadi pelindung Bali untuk tetap dapat meningkatkan kompetensi global dengan peningkatan sumber daya disamping juga wajib mempertahankan keindahan budaya dan alam di Bali.     
            Setelah 5 tahun usia Perda RTRWP Bali ternyata belum banyak berperan maksimal dalam menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyaknya bangunan akomodasi wisata seperti hotel dan villa secara terang-terangan melanggar sepadan pantai. Pelanggaran terbanyak berada di kawasan Badung Selatan seperti Kuta, Jimbaran, Nusa Dua dan Pecatu selain itu banyak pula pelanggaran yang ada di sepanjang pesisir Tibubeneng dan Canggu. Pelanggaran ini terus terjadi disebabkan kurang tegasnya penertiban yang dilakukan oleh pemerintah meskipun sudah jelas dilarang dalam pasal 50 ayat 4 terkait pengaturan sepadan pantai dengan jarak 100 meter dari titik pasang air laut.
            Sepadan pantai seharusnya dibuka sepenuhnya menjadi ruang public sehingga tidak dikuasai oleh pihak swasta sebagaimana juga diatur dalam dalam pasal 108 ayat 3 huruf f. Sekalipun menjadi milik swasta selayaknya tidak dikuasai namun digunakan untuk menunjang fasilitas rekreasi yang bisa digunakan juga oleh wisatawan dan masyarakat sekitar. Namun seringkali masyarakat dilarang untuk menikmati indahnya pantai oleh  satpam-satpam hotel dengan alasan pantai dan laut hanya boleh digunakan oleh tamu hotel saja. Kondisi ini menyebabkan semakin terpinggirnya masyarakat sehingga lambat laun pantai dan laut hanya akan dinikmati oleh orang kaya sementara masyarakat lokal hanya akan menikmati limbah-limbah dari hotel saja. Kondisi ini perlu mendapatkan perhatian pemerintah agar masyarakat lokal yang melaksanakan melasti juga tidak merasa seperti meminjam tempat ketika melaksanakan ritual suci di sepadan pantai.
            Selain terkait sepadan pantai pemerintah juga harus lebih serius dalam melaksanakan zonasi-zonasi yang lain. Seperti misalnya menertibkan villa-villa yang melanggar sepandan jurang di Bali yang juga terus bertambah sehingga sangat mengganggu pemandangan umum bagi masyarakat ataupun wisatawan lain.
Bali tidak bisa menolak pembangunan di tengah tingginya persaingan global namun selayaknya pembangunan yang ada adalah pembangunan yang memang membangun masyarakat bukan pembangunan yang meminggirkan masyarakat, merusak keindahan dan menciptakan degradasi budaya dan spiritual yang menjadi kebanggaan Bali. Peran serta masyarakat khususnya Desa Pakraman juga sangat dibutuhkan agar secara aktif bekerjasama dengan pemerintah dalam melakukan pengawasan-pengawasan pembangunan. Sehingga Bali masa mendatang bukan menjadi milik investor tapi menjadi milik setiap masyarakat yang menjaga dan melestarikan budaya Bali.
           
           

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama